Jakarta – Pakar ekonomi politik dan analis kebijakan publik Dr. Ichsanuddin Noorsy menyayangkan pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub yang menyampaikan pandangan bertentangan dengan kebijakan resmi Presiden Prabowo Subianto mengenai lokasi pembangunan Bandara Internasional Bali Utara (BIBU).
“Ini merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap kebijakan presiden, serta terhadap iklim investasi dan kepastian hukum, dan dapat menimbulkan kebingungan publik,” ujarnya.
Dalam sistem pemerintahan yang sehat, lanjutnya, hierarki kebijakan harus dijaga. Peraturan Presiden (Perpres), sebagai turunan langsung dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), adalah kompas utama arah pembangunan. Setiap pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus tunduk pada keputusan yang telah ditegaskan oleh Presiden.
Namun, publik belakangan dibuat bingung oleh sikap dan pernyataan dua pejabat, yaitu Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara, yang justru mengemukakan pandangan menentang kebijakan resmi Presiden Prabowo Subianto mengenai lokasi pembangunan BIBU.
Keduanya membuka wacana memindahkan proyek dari Kubutambahan, Buleleng ke Sumberklampok, sebuah kawasan yang berada di dalam Taman Nasional Bali Barat. Langkah ini tidak hanya menimbulkan kebingungan publik tetapi juga menyebarkan ketidakpastian di dunia investasi.
Sementara itu, fakta hukumnya jelas. Lokasi BIBU di Kubutambahan telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029, yang ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, dan peraturan ini bersifat final dan mengikat.
Tidak ada lagi ruang untuk negosiasi atau wacana pemindahan lokasi, sementara pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara sama dengan tantangan terbuka terhadap keputusan presiden.
“Ini bukan sekadar perbedaan pendapat, tetapi telah masuk ke ranah pembangkangan birokrasi yang dapat merusak iklim investasi dan kepercayaan investor,” tegasnya.
Sebelumnya, Dirjen Perhubungan Udara sebenarnya telah menolak lokasi Sumberklampok melalui surat resmi kepada Gubernur Bali.
Alasannya jelas: kawasan tersebut tidak sesuai dengan Perda RTRW Provinsi Bali 2009-2029, mengancam Taman Nasional Bali Barat (TNBB), dan sebagian lahannya akan menggunakan zona konservasi sekitar 64 hektar.
Kini, lokasi yang sebelumnya dinilai tidak layak justru dihidupkan kembali, padahal berpotensi melanggar UU Konservasi, memicu konflik lingkungan, dan menyebabkan tumpang-tindih ruang udara dengan Bandara Blimbingsari di Banyuwangi yang hanya dipisahkan oleh Selat Bali.
Visi Presiden: Bali Utara, Poros Pertumbuhan Baru
Di bagian lain, ia mengingatkan bahwa proyek BIBU Kubutambahan adalah perwujudan nyata dari visi besar Presiden Prabowo untuk menjadikan Bali sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia timur.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden menegaskan ambisinya untuk menjadikan Bali “The New Singapore” atau “The New Hong Kong”.
Langkah strategis ini disambut oleh PT BIBU Panji Sakti, sebagai penggagas proyek, yang telah mengamankan komitmen investasi senilai Rp 50 triliun dan meluncurkan desain bandara lepas pantai yang modern.
Proyek ini telah ditinjau lintas kementerian dan telah mendapatkan lampu hijau dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Investasi (BKPM), dan Bappenas sebelum akhirnya dimasukkan dalam RPJMN 2025–2029.
Lebih lanjut ia menyatakan, sikap pejabat daerah dan pusat yang tidak konsisten dengan Perpres itu telah memicu kegeraman sejumlah tokoh adat di Bali. Paiketan Puri-Puri Se-Jebag Bali (P3SB) mendesak Presiden Prabowo untuk segera memulai pembangunan BIBU.
“Kami sudah lelah dengan wacana. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 sudah jelas: lokasi bandara ada di pesisir Kubutambahan,” ujar Sekretaris P3SB.
Nada serupa datang dari Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN). Melalui surat resmi, mereka meminta Presiden untuk segera meresmikan groundbreaking pembangunan BIBU.
Ketua FSKN menyatakan bahwa proyek ini strategis untuk mendorong pemerataan ekonomi dan memperkuat identitas budaya Bali dalam kerangka kejayaan peradaban bangsa.
Menurutnya, perilaku pejabat yang menentang keputusan Presiden bukan hanya pelanggaran administratif tetapi juga perusakan terhadap sistem pemerintahan.