Sebuah tonggak penting dalam oseanografi nasional tercapai melalui kolaborasi penelitian kelautan Indonesia-China. Pada edisi kedelapan IMPOLSE (Indonesia Maritime and Pacific Ocean Longterm Scientific Expedition) 2025, tim berhasil mengambil kembali mooring (pelampung observasi) laut dalam berfrekuensi tinggi di perairan Indonesia timur.

Ekspedisi yang berlangsung dari akhir November hingga akhir Desember 2025 ini berfokus pada instrumen generasi baru yang telah dipasang sejak November 2023 di tiga titik krusial: Selat Lombok bagian utara, Channel Labani di Selat Makassar, dan bagian barat Laut Maluku.

Deteksi Gelombang Soliter Raksasa

Kelebihan mooring berfrekuensi tinggi terletak pada kemampuannya merekam variabilitas samudra dengan tingkat presisi yang jauh melebihi instrumen konvensional. Pencapaian ini membuka resolusi temporal tinggi untuk mempelajari dinamika laut cepat, seperti gelombang soliter internal, yang sebelumnya sulit dideteksi secara detail.

“Amplitudo gelombang soliter internal, yang sebelumnya diperkirakan dari citra satelit berkisar antara 40 dan 80 meter, ternyata bisa melebihi 100 meter menurut data mooring. Nilai ini sebanding dengan amplitudo maksimum yang diamati di Selat Lombok.”

Teknologi Mutakhir dan Integrasi Lintas Disiplin

Ekspedisi IMPOLSE 2025 dibagi menjadi dua tahap: pengambilan mooring dan pengumpulan data lanjutan di Laut Maluku timur serta Lifamatola Passage. Pengukuran dilakukan dengan instrumen canggih, termasuk Vertical Microstructure Profiler (VMP) dan perangkat Conductivity Temperature Depth (CTD).

Penggunaan VMP dalam penelitian ini sangat signifikan, menjadikannya satu-satunya instrumen sejenis yang digunakan di Asia Tenggara.

Di luar oseanografi fisik, kolaborasi ini mengintegrasikan studi lintas disiplin, mencakup penelitian mikroplastik, biofouling, dan mikrobiologi degradasi mikroplastik. Diharapkan data observasi resolusi tinggi ini akan membentuk fondasi ilmiah vital untuk pemodelan iklim global, kemajuan ilmu kelautan, dan pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan di Indonesia dan kawasan Asia yang lebih luas.

Selat Lombok

Selat Lombok adalah jalur air dalam yang memisahkan pulau Bali dan Lombok di Indonesia. Secara historis, selat ini merupakan jalur maritim vital untuk perdagangan dan migrasi, terkenal sebagai bagian dari “Garis Wallace”—batas biogeografis penting yang diidentifikasi Alfred Russel Wallace yang memisahkan satwa liar khas Asia dan Australasia. Kini, selat ini tetap menjadi jalur pelayaran penting dan rute populer untuk wisata bahari.

Channel Labani

Channel Labani adalah selat alami yang terletak di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia, yang secara historis digunakan sebagai jalur pelayaran vital. Selat ini memisahkan Pulau Peleng dan Banggai, memfasilitasi perdagangan dan transportasi maritim lokal selama berabad-abad. Kini, selat ini tetap menjadi jalur penting dan dikenal akan keanekaragaman hayati lautnya yang kaya.

Selat Makassar

Selat Makassar adalah jalur air utama di Indonesia yang memisahkan pulau Kalimantan dan Sulawesi. Secara historis, selat ini telah menjadi rute perdagangan maritim vital selama berabad-abad, terutama pada era perdagangan rempah, menghubungkan Laut Jawa ke Laut Sulawesi. Kini, selat ini tetap menjadi saluran penting untuk pelayaran internasional dan dikenal akan keanekaragaman hayati lautnya yang kaya.

Laut Maluku

Laut Maluku adalah wilayah Samudra Pasifik di Indonesia timur, yang secara historis dikenal sebagai “Kepulauan Rempah” karena cengkeh dan palanya. Kawasan maritim ini merupakan pusat perdagangan rempah global selama berabad-abad, diperebutkan keras oleh kekuatan Eropa seperti Portugis dan Belanda. Kini, laut ini tetap menjadi jalur laut vital dan terkenal akan keanekaragaman hayati laut serta terumbu karangnya yang kaya.

Lifamatola Passage

Lifamatola Passage adalah palung samudra dalam yang terletak di Laut Maluku, Indonesia, secara historis signifikan sebagai rute migrasi utama bagi spesies laut antara Samudra Pasifik dan Hindia. Pembentukannya terkait dengan aktivitas tektonik kompleks di wilayah tersebut, dan telah lama menjadi koridor navigasi yang kritis, meskipun menantang, bagi para pelaut regional.