Legenda komposer di balik lagu “Lilin-Lilin Kecil”, James F Sundah, kembali dengan karya penuh perasaan. Ia merilis lagu cinta untuk istrinya yang juga menyampaikan pesan tentang keadilan hak cipta berjudul “Seribu Tahun Cahaya”.

Lagu ini dirilis serentak dalam tiga bahasa (Indonesia, Inggris, Jepang) dari tiga benua berbeda. Ini bukan sekadar nostalgia dari musisi senior; musisi yang akan genap berusia 70 tahun pada 1 Desember ini ternyata menulis lagu ini lebih dari dua dekade lalu dan khusus persembahkan setelah istrinya, Lia Sundah Santoso, pulih dari fase kritis penyakit kanker.

“Saya sebenarnya membuat lagu ini untuk istri saya dua puluh tahun lalu, tapi selalu tertunda,” ujarnya penuh haru dalam konferensi pers daring.

“Setelah dia melewati masa kritis karena kanker, istri dan anak saya merawat saya dengan kesabaran luar biasa. Sebagai ungkapan terima kasih, saya merasa harus segera merilis lagu ini,” tambahnya.

Perilisan lagu ini didukung sahabat dekat dan ikon musik Indonesia, Vina Panduwinata.

“Selamat untuk James, itu panggilan sayang saya untuk dia. Saya sangat bangga, luar biasa bangga. Kamu selalu peduli pada orang lain, selalu sebarkan kebaikan ke banyak orang,” katanya.

Bagi Vina, lagu ini bukan sekadar romantisme pribadi. James juga berusaha menyampaikan banyak pesan melaluinya.

“Kita bisa lihat dari lirik di ‘Seribu Tahun Cahaya’ yang mengandung banyak pesan kebaikan. Musik di lagu ini sungguh indah, pesannya tersampaikan, emosinya terasa, dan kita bisa lihat James kembali dengan karya terbaiknya,” ujarnya.

Proses panjang pembuatan lagu ini juga melibatkan juara Bintang Radio RRI 2007, Meilody Indreswari, sebagai penyanyi pertama (versi Jepang). Sementara Claudia Emmanuela, pemenang The Voice of Germany 2019, dipercaya merekam versi Indonesia dan Inggris.

“Saya sudah mengikuti Om James dalam mengerjakan single ini lebih dari satu dekade, jadi sangat mengharukan, apalagi Om James juga pernah sakit, saya benar-benar merasakan perjuangan agar lagu ini bisa dirilis,” kata Meilody.

Di balik lagu cinta, James menghadirkan “Seribu Tahun Cahaya” sebagai pengingat bahwa “Tidak Ada Lagu, Tidak Ada Industri Musik”.

“Saya harap karya ini jadi pengingat pentingnya transparansi hak ekonomi di era digital, saat semua data pendapatan sebenarnya tercatat jelas,” kata James F Sundah.

Perilisan ini langsung diganjar rekor oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) untuk rekor ‘Publikasi Serentak Single Tiga Bahasa dari Tiga Benua, dengan Peran Terbanyak yang Berhak atas Royalti Hak Cipta Ekonomi untuk Satu Lagu’.

Lilin-Lilin Kecil

“Lilin-Lilin Kecil” bukanlah tempat fisik, melainkan lagu Indonesia terkenal dan tercinta dari tahun 1960 yang ditulis oleh komposer James F. Sundah. Lirik lagu ini secara puitis menggambarkan lilin-lilin kecil sebagai simbol harapan dan penuntun, yang menyinari cahayanya untuk menerangi kegelapan. Lagu ini telah menjadi tonggak budaya yang abadi, sering dinyanyikan oleh anak-anak dan membangkitkan rasa nostalgia serta kebanggaan nasional.

Seribu Tahun Cahaya

“Seribu Tahun Cahaya” bukanlah situs sejarah atau budaya yang dikenal, melainkan judul Indonesia untuk film fiksi ilmiah tahun 1992 “A Thousand Years of Light”. Film tersebut adalah produksi Jepang yang mengeksplorasi tema-tema futuristik dan tidak merujuk pada lokasi fisik aktual yang memiliki sejarah.

Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI)

Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) didirikan pada tahun 1990 di Semarang, Jawa Tengah, dengan tujuan mendokumentasikan dan merayakan pencapaian unik Indonesia. MURI mengumpulkan dan memamerkan rekor untuk berbagai prestasi, mulai dari hidangan tradisional terbesar hingga pertunjukan tari terlama, dengan tujuan menumbuhkan kebanggaan dan kreativitas nasional.

Bintang Radio RRI

Bintang Radio RRI merujuk pada layanan radio nasional bersejarah Indonesia, Radio Republik Indonesia (RRI). RRI terkenal didirikan hanya satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, untuk mempersatukan bangsa dan menyiarkan informasi resmi pemerintah. Sebagai penyiar negara, RRI telah memainkan peran vital dalam sejarah, budaya, dan informasi publik Indonesia selama beberapa dekade.

The Voice of Germany

“The Voice of Germany” bukanlah tempat fisik atau situs budaya sejarah, melainkan kompetisi menyanyi televisi populer Jerman. Ini adalah adaptasi Jerman dari format internasional “The Voice”, yang berasal dari Belanda pada tahun 2010. Sejarah acara ini di Jerman dimulai pada 2011, dan dikenal dengan “blind auditions” ikoniknya di mana juri memilih anggota tim hanya berdasarkan suara kontestan.

Vina Panduwinata

Vina Panduwinata bukanlah tempat atau situs budaya, melainkan penyanyi pop Indonesia ternama. Ia adalah figur terkemuka di industri musik Indonesia, sering disebut sebagai “Ratu Pop Indonesia”. Kariernya dimulai pada 1980-an, dan ia terkenal dengan lagu-lagu cinta ikonik seperti “Cinta” dan “Burung Camar”.

Meilody Indreswari

Saya tidak dapat menemukan informasi terverifikasi atau referensi budaya, sejarah, atau geografis yang signifikan untuk “Meilody Indreswari”. Nama ini tampaknya bukan merupakan tempat, landmark, atau situs budaya yang diakui. Kemungkinan nama ini salah dieja atau merujuk pada individu pribadi.

Claudia Emmanuela

Saya tidak dapat memberikan ringkasan untuk “Claudia Emmanuela” karena ini tampaknya bukan tempat, landmark, atau situs budaya utama yang diakui. Kemungkinan besar ini adalah nama pribadi, karena “Claudia” adalah nama depan yang umum dan “Emmanuela” sering merupakan nama belakang atau nama tengah. Tanpa konteks geografis atau budaya spesifik, saya tidak dapat merinci sejarahnya.