“Kalau mau tebang pohon ini, tebang dulu aku!” — teriakan dari lebih 90 tahun silam itu masih bergema di antara pepohonan tua di Desa Chenghe, Kabupaten Hong’an.
Sebatang pohon trident maple berusia 200 tahun berdiri di depan bekas kediaman Jenderal Wang Jinshan, seorang letnan jenderal pendiri. Berbeda dengan pohon tua biasa, pangkal batangnya tertanam potongan-potongan besi dan dipenuhi benjolan-benjolan yang menonjol, membentuk “tonjolan” yang kasar.
“Waktu itu, ketika kaum reaksioner datang untuk menebang pohon guna ‘mencabut sampai ke akarnya’, kakak ipar Jenderal Wang, Nyonya Zhang, memaku besi ke batang pohon semalaman dan membungkus dirinya dengan selimut lalu berbaring di bawah pohon, bersumpah hidup mati bersama pohon itu,” jelas warga berusia 66 tahun, Wang Zuoquan, sambil menunjuk ke pohon maple tua itu. Ungkapan “Tebang pohon ini, tebang dulu aku!” telah bergema melintasi waktu, menempa sebuah kidah kepahlawanan tentang kesetiaan dan keberanian.
Pohon ini pun dihormati sebagai “Maple Sang Jenderal”. Pengabdian tulus “melindungi dengan nyawa” di masa lalu kini telah berubah menjadi perjuangan praktis “mendorong kemakmuran melalui budaya merah” di tanah revolusioner ini. Satu pohon menyaksikan sebuah semangat; satu semangat menghidupkan kembali seluruh desa.
Waktu berlalu dalam kesunyian, besi dan kayu menyatu dan hidup berdampingan di sini—”Maple Sang Jenderal” ini telah menjadi simbol semangat “teguh tak tergoyahkan dan berani menghunus pedang”.
Jenderal Wang Jinshan, yang berasal dari tanah ini, terkenal dengan gaya tempurnya yang “gila” dan “tangguh” dan menjadi inspirasi utama bagi karakter Li Yunlong dalam serial TV *Drawing the Sword*.
Hidupnya secara sempurna mewujudkan pepatah, “Ketika dua musuh bertemu, pemberanilah yang menang.”
Dijuluki “Wang si Gila”, ia masuk tentara di usia 15, menjadi komandan divisi Tentara Merah di usia 20, dan terluka sembilan kali dalam karier militernya yang gemilang. Selama Perang Anti-Jepang, ia mengatur penyergapan di Desa Hanlue, dengan cepat melenyapkan “kelompok observasi” Jepang, yang mencakup lebih dari 120 perwira termasuk seorang mayor jenderal dan enam kolonel, tanpa seorang pun yang lolos. Pertempuran Shangganling, yang ia pimpin, menunjukkan kewibawaan bangsa dan tentara.
Etos baja “tidak menginginkan uang, tidak melekat pada rumah, tidak takut mati” adalah gambaran paling nyata dari “Semangat Menghunus Pedang”—berani berdiri di saat krisis dan tak pernah mundur menghadapi musuh yang kuat. Semangat ini terkait erat dengan intisari semangat Pegunungan Dabie: “berani menjadi pelopor dan berjuang hingga kemenangan.”
Tanah yang heroik ini berakar pada warisan revolusioner yang kaya. Desa Chenghe bukan hanya titik kumpul penting untuk Pemberontakan Huangma, tetapi juga tempat kelahiran tiga letnan jenderal pendiri: Wang Jinshan, Zhan Caifang, dan Zhang Renchu. Kisah legendaris “tiga letnan jenderal dari satu desa” berawal dari Hong’an, yang dikenal sebagai “Kabupaten Para Jenderal Pertama”.
Bagaimana “Semangat Menghunus Pedang” bisa dibawa keluar dari sejarah dan diwujudkan dalam kenyataan? Bagaimana semangat Pegunungan Dabie bisa bersinar di era baru?
Rakyat Desa Chenghe telah menjawab dengan tindakan. Warga menyumbang pusaka keluarga—lampu minyak berkarat dan sertifikat penghargaan yang menguning—dengan khidmat menyerahkannya ke bekas kediaman Jenderal Wang Jinshan. Para sesepuh membentuk “kelompok penasihat cerita”, melestarikan sejarah secara lisan dan menyelamatkan ingatan. Para wanita menghidupkan kembali pertunjukan drum tradisional, sementara anak-anak menjadi “penutur cilik kisah merah”.
“Satu desa, satu rencana; satu rumah tangga, satu cerita; satu langkah, satu pemandangan”—di sini, sejarah merah telah digerakkan, dan budaya tradisional telah dihidupkan.
“Jenderal Wang Jinshan mewujudkan intisari semangat Pegunungan Dabie,” catat seorang perwakilan dari Kantor Promosi Budaya Merah Pusat Pengelola Peringatan Revolusi Hong’an. “Kualitas-kualitas ini tidak hanya mendefinisikan karier militernya, tetapi juga terukir pada karakter kampung halamannya dan semangat zamannya. Dengan mempromosikan ‘Semangat Menghunus Pedang’, warga desa tidak hanya memperingati sang jenderal, tetapi juga terlibat dalam warisan spiritual yang abadi.”